BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangKeberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran dikala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status social orang tua. Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah, anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya. Menurut ajaran Islam, anak adalah amanah dari Allah swt yang harus dijaga dan dilindungi. Sebagai amanah anak harus dijaga sebaik mungkin oleh yang memegangnya, yaitu orang tua. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun. Istilah anak sering disebutkan dalam Al-qur’an dengan kata al-walad (jamaknya al-awlad) yang berarti anak yang dilahirkan orang tuanya, laki-laki maupun perempuan, besar atau kecil, tunggal maupun banyak. Karenanya jika anak belum lahir belum dapat disebut al-walad atau al-mawlud, tetapi disebut janin yang berarti al-matsur (tertutup) dan al-khafy (tersembunyi) di dalam rahim ibu. Islam membagi anak yang lahir menjadi dua status, yaitu anak syar’iy dan anak thabi’iy. Anak syar’iy adalah anak dimana hukum menetapkan adanya hubungan nasab antara anak dan orang tua laki-lakinya. Sedangkan anak thabi’iy adalah anak dimana secara hukum anak dianggap tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua laki-lakinya. Untuk itu, dalam makalah ini kami para pemakalah akan menjelaskan mengenai perhitungan faraidh bagi anak dalam kandungan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hak waris terhadap anak yang masih dalam kandungan ?
2.Bagaimanakah perhitungan pembagian harta untuk anak yang masih ada dalam kandungan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimanakah hak waris terhadap anak yang masih dalam kandungan.
2. untuk mengetahui bagaimanakah perhitungan pembagian harta untuk anak yang masih ada dalam kandungan.
BAB II
PEMBAHASAN
Alhamlu (hamil) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari katahamalat. Dikatakan: "almar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa" (wanitaitu hamil apa bila ia sedang mengandung janin). Menurut Mansur Ibn Yunus Ibn Idris alBahuti salah seorang ulama mazhab Hambali bahwa secara bahasa alhamlu dengan difathahkan huruf ha kata itu digunakan kepada setiap apa yang ada di dalam perut yang hamil dan selanjutnya beliau mengatakan bahwa yang maksud Miirastu alhaml disini adalah setiap anak yang ada di dalam perut wanita. Allah berfirman dalam AlQur'an surat alAhqaf (46) 15 Artinya:Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia Telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah Aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang Telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya Aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya Aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya Aku termasuk orangorang yang berserah diri". Sedangkan menurut istilah fuqaha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibunya, baik lakilaki maupun perempuan. Salah satu syarat yang harus terpenuhi oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian, bagi janin yang masih di dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi tersebut akan lahir selamat atau tidak, lakilaki atau perempuan, dan satu atau kembar. Setelah bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup, maka kita nyatakan bahwa ahli waris dalam keadaan hidup pada saat pewaris wafat; demikian juga jika ia lahir dalam keadaan mati, maka kita nyatakan bahwa ahli waris tidak ada ketika pewaris wafat. Secara ringkas dapat dikatakan, selama janin yang dikandung belum dapat diketahui dengan pasti keadaannya, maka mustahil bagi kita untuk menentukan jumlah bagian waris yang harus diterimanya. Karena itu, untuk mengetahui secara pasti kita harus menunggu setelah bayi itu lahir. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan kita dihadapkan pada keadaan darurat menyangkut kemaslahatan sebagian ahli waris yang mengharuskan kita untuk segera membagi harta warisan dalam bentuk awal. Setelah itu, barulah kita bagikan kepada masingmasing ahli waris secara lengkap setelah kelahiran bayi. Berkaitan dengan hal ini, para pakar faraid menjelaskan hukumhukum khusus secara rinci dengan menyertakan berbagai pertimbangan demi menjaga kemaslahatan ahli waris yang ada.
B. Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan
Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi tiga persyaratan: 1. Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika muwarist wafat. 2. Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan. 3. Matinya muwarist. Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Apabila lahir dalam keadaan hidup, maka dia mewarisi dan dapat diwarisi oleh orang lain; karena berdasarkan sebuah hadis yang diriwatkan oleh beberapa ahli hadist, diantaranya: • Hadis riwayat Abu Daud No 2531 Artinya: Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muadz, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Yazid bin Abdullah bin Qusaith dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Apabila anak yang lahir (dalam keadaan) menangis, maka ia diwarisi." • Hadis riwayat Sunan AdDarimi No 2997 Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun telah mengabarkan kepada kami Al Asy'ats dari Abu Az Zubair dari Jabir bin Abdullah ia berkata; Jika seorang terlahir dalam keadaan menangis, maka ia mendapat warisan dan dishalati. Istihlal artinya teriyakan atau jeritan bayi yang baru lahir. Cirinya hidup adalah adanya suara, nafas, bersin atau yang serupa dengan itu. Kata Istihlal artinya jeritan tangisan bayi, maksudnya ialah bila anak yang lahir itu hidup maka dia diberi warisan. Tandanya hidup ialah suara, nafas, bersin atau yang serupa itu. Apabila kandungan itu lahir dalam keadaan mati bukan karena tindak pidana yang dilakukan oleh ibu terhadapnya, menurut kesepakatan, dia tidak mewarisi dan tidak pula diwarisi. Dan adapun batas waktu keluarnya bayi dari dalam kandungan ialah maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad. Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali. Persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan nyatanyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir adalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut. Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak seperti gerakan hewan yang dipotong maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw: "Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi) Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada. Sedangkan persyaratan ketiga adalah matinya muwarist. Setelah Muwarist ini mati hubungan dengan muwarist apabila hubungan dengan muwarist sebagai ayah, maka disyaratkan kawin dengan sah (sesuai dengan syari'at Islam) dan tidak ada penghalang baik Alhijab bi al washfi dan Alhijab bi alsyakhshi.
C. Keadaan Janin
Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut: 1. Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut berkelamin lakilaki ataupun perempuan. 2. Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (lakilaki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin ganda (banci). 3. Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya baik sebagai lakilaki maupun perempuan. 4. Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai lakilaki ataupun perempuan. 5. Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhub (terhalang) hak warisnya karena adanya janin.
Keadaan Pertama
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada secara langsung, tanpa harus menunggu kelahiran janin yang ada di dalam kandungan, disebabkan janin tersebut tidak termasuk ahli waris dalam segala kondisi. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang sedang hamil dari ayah tiri pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara lakilaki seibu pewaris. Dalam keadaan demikian berarti mahjub hak warisnya oleh adanya ayah pewaris. Karenanya harta waris yang ada hanya dibagikan kepada istri seperempat (1/4), ibu sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil hak istri, dan sisanya menjadi bagian ayah sebagai 'ashabah. Pokok masalahnya dari empat (4).
Keadaan Kedua
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa janin yang dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namun untuk sementara bagiannya dibekukan hingga kelahirannya. Setelah janin lahir dengan selamat, maka hak warisnya diberikan kepadanya. Namun, bila lahir dan ternyata bukan termasuk dari ahli waris, maka harta yang dibekukan tadi dibagikan lagi kepada ahli waris yang ada. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah), dan ipar perempuan yang sedang hamil (istri saudara kandung lakilaki), maka pembagiannya seperti berikut: istri mendapat seperempat (1/4), dan sisanya yang dua per tiga (2/3) dibekukan hingga janin yang ada di dalam kandungan itu lahir. Bila yang lahir anak lakilaki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan sisa harta yang dibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai keponakan lakilaki (anak lakilaki keturunan saudara kandung lakilaki), oleh karenanya ia lebih utama disbanding kedudukan paman kandung. Namun, apabila yang lahir anak perempuan, maka sisa harta waris yang dibekukan itu menjadi hak paman. Sebab keponakan perempuan (anak perempuan keturunan saudara lakilaki) termasuk dzawil arham. Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, tiga saudara perempuan seibu, dan istri ayah yang sedang hamil. Pembagiannya seperti berikut: apabila istri ayah tersebut melahirkan bayi lakilaki, berarti menjadi saudara lakilaki seayah. Maka dalam keadaan demikian ia tidak berhak mendapatkan waris, karena tidak ada sisa dari harta waris setelah diambil para ashhabul furudh yang ada.
Namun, bila ternyata bayi tersebut perempuan, berarti ia menjadi saudara perempuan seayah, maka dalam hal ini ia berhak mendapat bagian separo (1/2), dan pokok masalahnya dari enam (6) di'aulkan menjadi sembilan (9). Setelah ashhabul furudh menerima bagian masingmasing, kita lihat sisanya yang menjadi bagian bayi yang masih dalam kandungan. Bila yang lahir bayi perempuan, maka sisa bagian yang dibekukan menjadi bagiannya, namun bila ternyata lakilaki yang lahir, maka sisa harta waris yang dibekukan tadi diberikan dan dibagikan kepada ahli waris yang ada, tablenya sebagai berikut:
Aw dan fardhnya 6 9 Suami 1/2 3 Ibu 1/6 1 3 sdr. pr. Seibu 1/3 1 Sdr.pr.seayah (hamil) 1/2 1 Sisanya tiga (3), untuk sementara dibekukan hingga janin telah dilahirkan
Keadaan Ketiga
Apabila janin yang ada di dalam kandungan sebagai ahli waris dalam segala keadaannya hanya saja hak waris yang dimilikinya berbedabeda (bisa lakilaki dan bias perempuan) maka dalam keadaan demikian hendaknya kita berikan dua ilustrasi, dan kita bekukan untuk janin dari bagian yang maksimal. Sebab, boleh jadi, jika bayi itu masuk kategori lakilaki, ia akan lebih banyak memperoleh bagian dari pada bayi perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi, hendaknya kita berikan bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua bagiannya, dan hendaknya kita lakukan pembagian dengan dua cara dengan memberikan bagian ahli waris yang ada lebih sedikit dari bagianbagian masingmasing. Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu, dan ayah. Dalam keadaan demikian, bila janin dikategorikan sebagai anak lakilaki, berarti kedudukannya sebagai anak lakilaki pewaris, dan pembagiannya seperti berikut: ibu seperenam (1/6), ayah seperenam (1/6), dan bagian istri seperdelapan (1/8), dan sisanya merupakan bagian anak lakilaki sebagai 'ashabah. Agar keadaan ketiga ini lebih jelas maka perlu saya kemukakan contoh table dalam dua kategori (lakilaki dan perempuan). Aw dan fardhnya 24 Aw dan fardhnya 24 24 Istri 1/8 3 Istri 1/8 3 3 Ayah 1/6 4 Ayah 1/6 'ashabah 5 4 Ibu 1/6 4 Ibu 1/6 4 4 Janin lk. sbg. 'ashabah 13 Janin pr. 1/2 12 12 Sisanya satu (1), dibekukan.
Keadaan Keempat
Bila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagai lakilaki maupun perempuan, maka kita sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan bagian para ahli waris yang ada secara sempurna. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan ibu yang hamil dari ayah lain (ayah tiri pewaris). Apabila janin telah keluar dari rahim ibunya, maka bagian warisnya tetap seperenam (1/6), baik ia lakilaki ataupun perempuan. Sebab kedudukannya sebagai saudara lakilaki seibu atau saudara perempuan seibu dengan pewaris. Dengan demikian, kedudukan bayi akan tetap mendapat hak waris seperenam (1/6), dalam kedua keadaannya, baik sebagai lakilaki ataupun sebagai perempuan. Inilah tabelnya. 6 6 Sdr. kdg. pr. ½ 3 Sdr. kdg. pr. 1/2 3 Sdr. pr. seayah 1/6 1 Sdr. pr. seayah 1/6 1 Ibu (hamil) 1/6 1 Ibu 1 (Janin) sdr. seibu 1/6 1 (Janin) sdr. seibu 1/6 1
Keadaan Kelima
Apabila tidak ada ahli waris lain selain janin yang di dalam kandungan, atau ada ahli waris lain akan tetapi mahjub haknya karena adanya janin, maka dalam keadaan seperti ini kita tangguhkan pembagian hak warisnya hingga tiba masa kelahiran janin tersebut. Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka dialah yang akan mengambil hak warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka harta waris yang ada akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan menantu perempuan yang sedang hamil (istri dan anak lakilakinya) dan saudara lakilaki seibu. Maka janin yang masih dalam kandungan merupakan pokok ahli waris, baik kelak lahir sebagai lakilaki atau perempuan. Karenanya, akan menggugurkan hak waris saudara lakilaki pewaris yang seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai lakilaki berarti kedudukannya sebagai cucu lakilaki dari keturunan anak lakilaki, dengan begitu ia akan mengambil seluruh sisa harta waris yang ada karena ia sebagai 'ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai perempuan, maka ia sebagai cucu perempuan dari keturunan anak lakilaki, dan akan mendapat bagian separo (1/2) harta \varis yang ada, dan sisanya akan dibagikan sebagai tambahan (arradd) bila ternyata tidak ada 'ashabah. Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil dan saudara kandung lakilaki. Maka bagian istri adalah seperdelapan (1/8), dan saudara lakilaki tidak mendapat bagian bila janin yang dikandung tadi lakilaki. Akan tetapi, bila bayi tersebut perempuan maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan setengah (1/2) bagian, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung lakilaki sebagai 'ashabah.
BAB III
PENUTUP
A. KesimpulanAnak dalam kandungan termasuk ahli waris seperti ahli waris lainnya dengan syarat: • Sudah berwujud di dalam rahim ibunya pada saat pewaris (orang yang mewariskan) meninggal. • Dilahirkan dalam keadaan hidup. Karena anak dalam kandungan belum bisa langsung ditentukan jenis kelaminnya, maka besar bagian warisan yang akan diberikan kepadanya ada dua kemungkinan, yaitu berdasarkan anggapan apakah jenis kelaminnya nanti pada saat dilahirkan laki-laki atau perempuan. Menurut pendapat jumhur ulama, bagian untuk anak dalam kandungan yang harus ditahan/disimpan dari harta warisan (untuk kemudian diberikan kepadanya setelah mampu memegang harta) adalah bagian yang terbesar di antara dua perkiraan laki-laki dan perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
• Budi Ali Hidayat, Memahami Dasardasar Ilmu Faraid. 2009.Bandung: Angkasa• Mansur Ibn Yunus Ibn Idris alBahuti, Kasyf alQana juz. 4' . 1402.Bairut: Dar alFikr.
• Muhammad Ali ashShabuni diterjemahkan oleh A.M Basmalah, Pembagian WarisMenurut Islam, 1995. Jakarta:Gema Insani.
• Muhammad Ibn Salim Ibn Dhuyani, Manar alSabiil, 1405 H .Riyadh : Maktabah alMa'arif,
• Muhammad Ibn Abi Sahl AlSarakhsi, Al.Mabsuth Lisarakhsi, 1406 H Bairut: Dar alMa'rifah juz. 30
0 komentar:
Posting Komentar